Pelabuhan Hati

Monday, April 14, 2008

Putri Kecil di Planet Kedua

Planet kedua yang kukunjungi, lebih besar dari planet pertama.
Baru saja menginjakkan kaki, seorang tua berkumis dan berjanggut lebat langsung menambutku.
”Selamat datang di planet kami. Kau beruntung mendarat disini Nak. Disini kau bisa mendapatkan keping-keping emas dengan mudah. Kau tinggal menjelajahi planet ini, maka keping-keping emas itu akan berada dalam genggammu. Percayalah padaku”. Katanya sambil tersenyum lebar, kemudian berlalu dengan gemerincing emas di kantongnya.
Aku mengeluh. Benar saja kata teman Pangeran Kecil dalam kisah petualangannya yang terkenal itu. Orang-orang dewasa selalu menilai segala sesuatu dengan jumlah dan angka-angka. Seperti kakek yang barusaja kutemui. Ia menganggap keberuntungan adalah dengan banyaknya koin emas yang dimiliki. Semakin banyak koin emas, maka ia semakin beruntung.
Aku tak begitu menanggapi perkataannya. Bagi seorang anak kecil seperti aku, bukan keping emas yang kucari. Seperti yang pernah kukatakan, bahwa tujuan perjalananku adalah untuk bertemu dengan banyak orang dan mempelajari banyak hal. Dan jika saat ini aku mendarat di planet ini, bukan semata karena keping emas, tapi karena memang ada hal yang mungkin bisa kupelajari disini, selain soal koin emas tadi.
Tak lagi menghiaukan perkataan kakek tua, aku mulai menjelajah planet ini. Planet ini memang gemerlap dengan kilau emasnya. Orang-orang dewasa tampak berebut mencongkel keping emas yang tertanam di bukit—bukit di seluruh planet ini.
Tiba-tiba aku merasa muak dengan orang-orang itu.
Aku bertekad dalam hati, kelak, aku akan menjadi orang dewasa yang tidak menilai sesuatu hanya berdasar jumlah dan angka. Tapi adakah orang dewasa yang tidak menilai dengan angka ?
Akupun meragukan. Kalaupun memang tidak ada, maka biarlah aku tetap menjadi anak-anak.
Lelah mengitari planet, aku duduk di tempat yang sepi, dibawah bukit yang berwarna hitam.
Aku heran, kenapa bukit ini tidak kemilau seperti kebanyakan bukit di planet ini ?
Belum hilang rasa heranku, sebuah suara mengejutkanku.
”Siapa itu ?”
”ah .. eh .. sa .. saya ..”, kataku terbata.
”Oh, hanya anak kecil”, katanya.
Aku diam. Suasana sepi bebrapa saat,.
“Kenapa Kakek tidak bersama-sama orang dewasa lainnya ?”, tanyaku memberanikan diri.
“Maksudmu, kenapa aku tidak ikut mencongkel emas-emas itu ?”
“mm”, aku mengangguk kuat-kuat.
“Hfff ...” kakek itu menarik nafas panjang.
”Kau lihat sendiri kan Anak Kecil, aku tak lagi bisa melihat”.
Aku memperhatikan wajah kakek itu dengan seksama. Ya .., memang kakek itu tidak bisa melihat.
”semua karena kilau keping emas ini”.
”Maksud Kakek ?”
”Oh, Anak Kecil, ceritanya panjang. Lihatlah bukit ini, warnanya hitam bukan ?”
”Mm”, lagi-lagi aku mengangguk.
”Kau tahu Anak Kecil, Dulu bukit ini juga bersinar sama seperti bukit-bukit lainnya. Dan akupun juga seperti orang-orang itu, bergiat mengambil keping-keping emas dari bukit ini. Sepanjang usiaku kuhabiskan untuk mencongkel keping-keping emas. Kilauan emas yang menyilaukan mata tak lagi kuhiraukan. Saat akhirnya aku berhasil mengambil semua emas di bukit ini, hingga bukit ini tak lagi bersinar, aku mulai merasakan ada yang salah pada mataku. Semakin lama, yang kulihat hanyalah sinar kuning keemasan. Aku tak lagi bisa melihat wajah teman-temanku, bahkan aku tak mampu melihat tanganku sendiri. Hanya ada warna emas di mataku. Saat itu baru kusadari aku telah buta, dan emas yang kukumpulkanpun tak lagi ada gunanya. Keping emas itu telah membutakanku, hu..hu..”
Kakek itu mulai menangis.
”Ah, mungkin aku sudah gila. Kenapa aku menangis dan mengadu pada anak kecil ?” tanyanya pada diri sendiri..
”Tak apa Kakek. Mungkin hanya anak kecil seperti aku yang punya waktu mendengarkan cerita Kakek. Lagipula bukankah terkadang anak kecil bisa lebih dewasa dari orang dewasa itu sendiri?!”
”Hehe, Kau pintar, Anak Kecil. Ngomong-ngomong, darimana asalmu dan apa tujuanmu kesini ?”
”Planetku hanya berjarak dua planet dari sini. Aku kesini hanya sekedar ingin melihat-lihat kehidupan di luar planetku. Siapa tahu, ada hal yang bisa kupelajari disini”.
”Tantunya kaupun bisa belajar dari ceritaku tadi”
”mm”, untuk ketiga kalinya aku mengangguk.
”Lalu, akan kemana kau setelah ini Anak Kecil ?”
Aku sedikit terusik dengan kata ”Anak Kecil” yang dipakai kakek itu hampir disetiap kalimatnya. Mungkin begitulah orang dewasa. Mereka menggunakan pilihan kata untuk memberi penekanan bahwa mereka orang dewasa dan kita anak kecil. Tapi tak perlu dipermasalahkan. Anak-anak memang harus mulai terbiasa untuk belajar memahami perilaku orang-orang dewasa.
”aku akan ke planet selanjutnya”.
”Kalau aku boleh menyarankan, mungkin sebaiknya kau singgah dulu di satelit planet ini. Letaknya tak begitu jauh. Kau tinggal menuruni bukit ke delapan dari sini. Lalu setelah kau lihat satelitnya kau tinggal melakukan satu lompatan, maka kau akan sampai disana. Siapa tahu ada yang bisa kau pelajari disana. Dan ini, keping emas ini, ambillah ... Mungkin akan berguna bagimu. Aku sudah tak membutuhkannya lagi. ”
”Terima kasih Kakek ... Senang bisa bertemu Kakek. Kuharap, Kakek bisa bertemu bahagia. Selamat tinggal”.
Kakek itu terdiam, hanya melambaikan tangan.
Dari jauh, kulihat sia mengusap kedua matanya.
Kakek itu ... menangis
posted by Nda^_^ at 1:09 PM

2 Comments:

ukh..kangen...qt mah deket sm2 di Jakarta.tp ga bs srg2 ketemu ya??
apalagi bsk kl aq dh di kalimantan..hiks....
doain aq ya ukh...
miss u !!!

April 19, 2008 at 4:12:00 PM GMT+7  

akhirnya perpisahan itu datang juga ya mah T_T
Mungkin memang begitulah semestinya.
'ukhuwah itu bukan terletak pada pertemuan, bukan pada manisnya ucapan di bibir, tetapi pada ingatan seseorang terhadap saudaranya di dalam doanya' (Imam Al Ghazali)
so, keep in touch lewat doa ya ukh !!!

May 19, 2008 at 5:31:00 PM GMT+7  

Post a Comment

<< Home

Opick - Cahaya Hati.mp3

get more free mp3 & video codes at www.musik-live.net